Presiden
Soekarno
Ketika
dilahirkan, Soekarno diberikan nama Koesno Sosrodihardjo oleh
orangtuanya. Namun karena ia sering sakit maka ketika berumur lima tahun
namanya diubah menjadi Soekarno oleh
ayahnya. Nama tersebut diambil dari seorang panglima perang dalam kisah Bharata
Yudha yaitu Karna. Nama "Karna" menjadi "Karno"
karena dalam bahasa Jawa huruf "a" berubah menjadi "o"
sedangkan awalan "su" memiliki arti "baik". Masa
kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar.
Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di
Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Soekarno
dilahirkan dengan seorang ayah yang bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya
yaitu Ida Ayu Nyoman Rai. Keduanya bertemu ketika Raden Soekemi yang merupakan
seorang guru ditempatkan di Sekolah Dasar Pribumi di Singaraja, Bali, Nyoman
Rai merupakan keturunan bangsawan dari Bali dan beragama Hindu sedangkan Raden
Soekemi sendiri beragama Islam. Mereka telah memiliki seorang putri yang
bernama Sukarmini sebelum Soekarno lahir. Ketika kecil Soekarno tinggal bersama
kakeknya, Raden Hardjokromo di Tulung Agung, Jawa Timur.
Ia
bersekolah pertama kali di Tulung Agung hingga akhirnya ia pindah ke Mojokerto,
mengikuti orangtuanya yang ditugaskan di kota tersebut. Di Mojokerto, ayahnya
memasukan Soekarno ke Eerste Inlandse School, sekolah tempat ia bekerja.
·
Juni
1911 Soekarno dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS) untuk
memudahkannya diterima di Hoogere Burger School (HBS).
·
tahun
1915, Soekarno telah menyelesaikan pendidikannya di ELS dan berhasil
melanjutkan ke HBS. di Surabaya. Ia dapat diterima di HBS atas bantuan seorang
kawan bapaknya yang bernama H.O.S. Tjokroaminoto. Tjokroaminoto bahkan memberi
tempat tinggal bagi Soekarno di pondokan kediamannya. Di Surabaya, Soekarno
banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin
Tjokroaminoto saat itu, seperti Alimin, Musso, Dharsono, Haji Agus Salim, dan Abdul
Muis. Soekarno kemudian aktif dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro
Darmo yang dibentuk sebagai organisasi dari Budi Utomo. Nama organisasi
tersebut kemudian ia ganti menjadi Jong Java (Pemuda Jawa) pada 1918.
Selain itu, Soekarno juga aktif menulis di harian "Oetoesan Hindia"
yang dipimpin oleh Tjokroaminoto.
·
Tahun
1920, Soekarno Tamat H.B.S. dan melanjutkan ke Technische Hoge School
(sekarang ITB) di Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil dan Ia berhasil meraih gelar “Ir” pada 1925. Saat di Bandung,
Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan anggota Sarekat Islam
dan sahabat karib Tjokroaminoto. Di sana ia berinteraksi dengan Ki Hajar
Dewantara, Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan
pemimpin organisasi National Indische
Partij.
·
4 Juli 1927, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan
PNI (Partai Nasional lndonesia) dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya,
Belanda, memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929.
Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, beliau menunjukkan
kemurtadan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.
Pembelaannya itu membuat
Belanda makin marah. Sehingga pada Juli
1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung
dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap
Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian
dipindahkan ke Bengkulu.
Setelah
melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta
memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI
tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara
yang disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad
Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus
1945 Ir. Soekarno
terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang
pertama.
Sebelumnya,
beliau juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar
(ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berupaya mempersatukan
nusantara. Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika,
dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang
kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.
Keluarga Besar
Semasa
hidupnya, beliau mempunyai sembilan istri,
Siti
Oetari Tjokroaminoto, Inggit Ganarsih, Fatmawati, Hartini, Kartini Manopo,
Naoko Nemoto yang kemudian berganti nama menjadi Ratnasari Dewi, Haryati,
Yurike Sanger, dan Heldy Djafar.
Istri
Pertama:
Siti Oetari Tjokroaminoto
Siti Oetari adalah putri sulung Hadji Oemar Said Tjokroaminoto , pemimpin Sarekat Islam. Soekarno
menikahi Oetari pada usia belum genap 20 tahun. Siti Oetari sendiri waktu itu
berumur 16 tahun. Soekarno menikahi Oetari pada tahun 1921 di Surabaya. Sewaktu
itu Soekarno menumpang di rumah H.O.S Tjokroaminoto ketika sedang menempuh pendidikan
di sekolah lanjutan atas. Beberapa saat sesudah menikah, Bung Karno
meninggalkan Surabaya, pindah ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan di
perguruan tinggi di THS (sekarang ITB). Soekarno kemudian menceraikan Oetari.
Istri Kedua: Inggit
Garnasih
Inggit
Garnasih
adalah istri kedua Soekarno. Mereka menikah pada 24 Maret 1923 di rumah orang
tua Inggit di Jalan Javaveem, Bandung. Pernikahan mereka dikukuhkan dengan Soerat
Keterangan Kawin No. 1138 tertanggal 24 Maret 1923, bermaterai 15 sen, dan
berbahasa Sunda.
Ibu Inggit mengalami masa-sama sulit, saat Sukarno membangun partai
untuk pertama kalinya PNI. Mendampingi Sukarno saat berkeliling dari satu
tempat ke tempat lain untuk mengobarkan semangat rakyat Indonesia. Menyemangati
Sukarno agar lulus dan menjadi seorang sarjana. Bekerja banting tulang menjual
jamu dan membuat kutang untuk mencukupi kebutuhan ekonomi mereka saat Sukarno
masih belum bekerja. Mengurusi
Mendampingi Sukarno saat mengalami masa-masa terberat di dalam penjara
hingga akhirnya menjadi orang buangan di Pulau Ende Flores hingga akhirnya
dipindahkan ke Bengkulu. Inggit
Ginarsihlah yang telah membentuk pribadi Sukarno menjadi pejuang dan orator
ulung. Ketika berkahwin dengan Inggit, Sukarno
mengambil dua orang anak angkat yaitu Ratna Djuami dan Kartika
Istri
Ketiga: Fatmawati (ibu Naib Presiden, Megawati
Sukarnoputri)
Lahir
di Bengkulu, 5 Februari 1923 – meninggal di Kuala Lumpur, Malaysia, 14
Mei 1980 pada umur 57 tahun. Ia menjadi Ibu Negara Indonesia pertama dari tahun
1945 hingga tahun 1967 dan merupakan istri ke-3 dari Presiden Pertama Indonesia,
Soekarno. Ia juga dikenal akan jasanya dalam menjahit Bendera Pusaka Sang Saka
Merah Putih yang turut dikibarkan pada upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dari istri Fatmawati, beliau mempunyai anak Guntur, Megawati, Rachmawati,
Sukmawati dan Guruh.
Istri
Keempat: Hartini
“Saya cinta pada orangnya, pada
Bung Karno-nya, bukan pada presidennya…. Saya akan perlihatkan kepada
masyarakat, bahwa saya bisa setia, dan akan mendampingi Bung Karno dalam
keadaan apa pun, juga dalam kedudukannya. Dan saya (Hartini), telah
membuktikannya.”. Begitulah perkataan Hartini, yang bernama lengkap
Siti Suhartini, wanita lembut, bergerak-gerik anggun. Dia memiliki tutur kata
lembut, halus kepada Bung Karno. Ia, dalam keadaan santai, resmi, atau
saat-saat memadu cinta, tetap menggunakan bahasa Jawa srata tertinggi yang
disebut “kromo inggil”, itulah yang membuat Hartini begitu istimewa bagi Bung
Karno. Dari istri Hartini mempunyai anak Taufan
Sukarnoputra dan Bayu Sukarnoputra. Taufan
meninggal dunia pada tahun 1980 kerana sakit.
Istri
Kelima: Haryati
Haryati adalah seorang penari di Pejabat
Setiausaha Negara. Mereka berkahwin pada tahun 1963 dan bercerai tiga tahun
kemudian.
Istri
Keenam: Yurike Sanger
Yurike
dinikahi pada tahun 1964 ketika berusia 18 tahun. beda umur Yurike
dengan Sukarno ialah 48 tahun, perkahwinan itu hanya bertahan tiga tahun.
Istri
Ketujuh: Kartini Manoppo.
Begitu juga dengan Kartini Manoppo, bekas
pramugari syarikat penerbangan Indonesia, Garuda. Sukarno jatuh cinta pada Kartini
apabila melihat potret wajah wanita itu yang dilukis oleh Basuki Abdullah.
Mereka bernikah pada tahun 1959 dan memperoleh anak pada tahun 1967. Anak itu
diberi nama Totok Suryawan Manoppo.
Istri
Kedelapan: Ratna Seri Dewi.
dari istri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli
Naoko Nemoto mempunyai anak Kartika. Ratna Sari Dewi pula adalah seorang wanita
yang pernah bekerja di kelab malam dan kemudiannya menjadi model terkenal.
Istri
Kedelapan: Heldy Djafar.
Isteri
terakhir yang dinikahi secara resmi oleh Sukarno ialah Heldy Djafar setahun
sebelum kejatuhannya sebagai presiden pada tahun 1967.
Heldy
Djafar adalah seorang gadis asli Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan
Timur. Pernikahan secara Islam diadakan di Wisma Negara, 11 Juni 1966. Saksinya
Ketua DPA Idham Chalid dan Menteri Agama Saifuddin Zuhri. Bungsu dari 9
(Sembilan) bersaudara dari pasangan H. Djafar dan Hj. Hamiah.
HD
dinikahi ketika berusia 18 tahun. beda umur HD dengan Sukarno
ialah 48 tahun. Perkahwinan dengan Heldy hanya berlangsung selama dua tahun
kerana selepas kejatuhannya Sukarno dimasukan ke dalam tahanan di Wisma Yaso,
Jakarta.
Sebagai arsitek
Bung
Karno adalah presiden pertama Indonesia yang juga dikenal sebagai arsitek
alumni dari Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung dengan
mengambil jurusan teknik sipil dan tamat pada tahun 1925.
Pekerjaan dan Karya di Bidang Arsitektur
- Ir. Soekarno pada tahun 1926 mendirikan biro insinyur bersama Ir. Anwari, banyak mengerjakan rancang bangun bangunan. Selanjutnya bersama Ir. Rooseno juga merancang dan membangun rumah-rumah dan jenis bangunan lainnya.
- Ketika dibuang di Bengkulu menyempatkan merancang beberapa rumah dan merenovasi total masjid jami' di tengah kota.
Pengaruh Terhadap Karya Arsitektural Semasa Menjadi Presiden
Semasa
menjabat sebagai presiden, ada beberapa karya arsitektur yang dipengaruhi atau
dicetuskan oleh Soekarno. Juga perjalanan ke berbagai negara dari bulan Mei – Juli
1956 ke negara-negara Amerika Serikat, Kanada, Italia, Jerman Barat dan Swiss membuat
cakrawala alam pikir Soekarno semakin kaya dalam menata Indonesia secara holistic.
Soekarno memilih Jakarta sebagai wajah muka Indonesia terkait beberapa kegiatan
berskala internasional yang diadakan di kota itu, namun juga merencanakan
sebuah kota sejak awal yang diharapkan sebagai pusat pemerintahan di masa
datang. Beberapa karya dipengaruhi oleh Soekarno atau atas perintah dan
koordinasinya dengan beberapa arsitek seperti Frederich Silaban dan R.M.
Soedarsono, dibantu beberapa arsitek yunior untuk visualisasi. Beberapa desain
arsitektural:
- Masjid Istiqlal 1951
- Monumen Nasional 1960
- Gedung Conefo
- Gedung Sarinah
- Wisma Nusantara
- Hotel Indonesia 1962
- Tugu Selamat Datang
- Monumen Pembebasan Irian Barat
- Patung Dirgantara
- Tahun 1955 Ir. Soekarno menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan sebagai seorang arsitek, Soekarno tergerak memberikan sumbangan ide arsitektural kepada pemerintah Arab Saudi agar membuat bangunan untuk melakukan Sa’i menjadi dua jalur dalam bangunan dua lantai. Pemerintah Arab Saudi akhirnya melakukan renovasi Masjidil Haram secara besar-besaran pada tahun 1966, termasuk pembuatan lantai bertingkat bagi umat yang melaksanakan sa’i menjadi dua jalur dan lantai bertingkat untuk melakukan tawaf.
- Rancangan skema Tata Ruang Kota Palangkaraya yang diresmikan pada tahun 1957
Masa pergerakan nasional
Pada
tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung yang
merupakan hasil inspirasi dari Indonesische Studie Club oleh Dr. Soetomo,
Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan
pada tahun 1927. Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkannya ditangkap Belanda
pada bulan Desember 1929 dan dipenjara di Penjara Banceuy, pada tahun 1930
dipindahkan ke Sukamiskin dan memunculkan pledoinya yang fenomenal Indonesia
Menggugat (pledoi), hingga dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember 1931.
Pada bulan Juli 1932,
Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan
dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan diasingkan ke
Flores. Di sini, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Namun
semangatnya tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang
Guru Persatuan Islam bernama Ahmad Hasan.
Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno
diasingkan ke Provinsi Bengkulu.
Soekarno
baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.
Masa penjajahan Jepang
Pada
awal masa penjajahan Jepang (1942-1945), pemerintah Jepang sempat tidak
memperhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk "mengamankan"
keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada Gerakan 3A dengan tokohnya Shimizu
dan Mr. Syamsuddin yang kurang begitu populer.
Namun
akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang memperhatikan dan sekaligus
memanfaatkan tokoh tokoh Indonesia seperti Soekarno, mohammad Hatta dan
lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga lembaga untuk menarik
hati penduduk Indonesia. Disebutkan dalam berbagai organisasi seperti Jawa
Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI, tokoh tokoh seperti
Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H Mas Mansyur dan lain lainnya
disebut-sebut dan terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional
bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan
Indonesia, meski ada pula yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan
Syahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang
berbahaya.
Presiden
Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks proklamasi
kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerjasama dengan Jepang
sebenarnya kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan sendiri.
Ia aktif dalam usaha
persiapan kemerdekaan Indonesia, di antaranya adalah merumuskan Pancasila, UUD
1945 dan dasar dasar pemerintahan Indonesia termasuk merumuskan naskah
proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk menyingkir ke Rengasdengklok.
Pada
tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh Indonesia yakni
Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima
langsung oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran
(Ratna Suci) kepada tiga tokoh Indonesia tersebut. Penganugerahan Bintang itu
membuat pemerintahan pendudukan Jepang terkejut, karena hal itu berarti bahwa
ketiga tokoh Indonesia itu dianggap keluarga Kaisar Jepang sendiri. Pada bulan
Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat
wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian menyatakan bahwa
proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia sendiri.
Namun keterlibatannya
dalam badan-badan organisasi bentukan Jepang membuat Soekarno dituduh oleh Belanda
bekerja sama dengan Jepang,antara lain dalam kasus romusha.
Masa Perang Revolusi
Soekarno
bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, Panitia Kecil yang terdiri dari delapan orang
(resmi), Panitia Kecil yang terdiri dari sembilan orang/Panitia Sembilan (yang
menghasilkan Piagam Jakarta) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI,
Soekarno-Hatta mendirikan Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Tanggal
16 Agustus 1945,
setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa
Rengasdengklok; Soekarno dan Mohammad Hatta dibujuk oleh para pemuda untuk
menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air Peta Rengasdengklok. Tokoh
pemuda yang membujuk antara lain Soekarni, Wikana, Singgih serta Chairul Saleh,
menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Republik
Indonesia, karena di Indonesia terjadi kevakuman kekuasaan. Ini disebabkan
karena Jepang sudah menyerah dan pasukan Sekutu belum tiba. Namun Soekarno,
Hatta dan para tokoh menolak dengan alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan
Jepang. Alasan lain yang berkembang adalah Soekarno menetapkan moment tepat
untuk kemerdekaan Republik Indonesia yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945
saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan.
Pada
tanggal 18 Agustus 1945,
Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil
Presiden Republik Indonesia.
Pada
tanggal 29 Agustus 1945
pengangkatan menjadi presiden dan wakil presiden dikukuhkan oleh KNIP.Pada
tanggal 19 September 1945 kewibawaan Soekarno dapat menyelesaikan tanpa
pertumpahan darah peristiwa Lapangan Ikada dimana 200.000 rakyat Jakarta akan
bentrok dengan pasukan Jepang yang masih bersenjata lengkap.
Pada
saat kedatangan Sekutu (AFNEI) yang dipimpin oleh Letjen. Sir Phillip
Christison, Christison akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia secara de
facto setelah mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno. Presiden
Soekarno juga berusaha menyelesaikan krisis di Surabaya. Namun akibat provokasi
yang dilancarkan pasukan NICA (Belanda) yang membonceng Sekutu. (dibawah Inggris)
meledaklah Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya dan gugurnya Brigadir Jendral
A.W.S Mallaby.
Karena
banyak provokasi di Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno akhirnya
memindahkan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Diikuti
wakil presiden dan pejabat tinggi negara lainnya.
Kedudukan
Presiden Soekarno menurut UUD 1945 adalah kedudukan Presiden selaku kepala
pemerintahan dan kepala negara (presidensiil / single executive). Selama
revolusi kemerdekaan,sistem pemerintahan berubah menjadi semi-presidensiil/double
executive. Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara dan Sutan Syahrir
sebagai Perdana Menteri/Kepala Pemerintahan. Hal itu terjadi karena adanya
maklumat wakil presiden No X, dan maklumat pemerintah bulan November 1945
tentang partai politik. Hal ini ditempuh agar Republik Indonesia dianggap
negara yang lebih demokratis.
Meski
sistem pemerintahan berubah, pada saat revolusi kemerdekaan, kedudukan Presiden
Soekarno tetap paling penting, terutama dalam menghadapi Peristiwa Madiun 1948
serta saat Agresi Militer Belanda II yang menyebabkan Presiden Soekarno, Wakil
Presiden Mohammad Hatta dan sejumlah pejabat tinggi negara ditahan Belanda.
Meskipun sudah ada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan ketua Sjafruddin
Prawiranegara, tetapi pada kenyataannya dunia internasional dan situasi dalam
negeri tetap mengakui bahwa Soekarno-Hatta adalah pemimpin Indonesia yang
sesungguhnya, hanya kebijakannya yang dapat menyelesaikan sengketa
Indonesia-Belanda.
Masa kemerdekaan
Setelah
Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan Kedaulatan),
Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS)
dan Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS. Jabatan Presiden
Republik Indonesia diserahkan kepada Mr Assaat, yang kemudian dikenal sebagai
RI Jawa-Yogya. Namun karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin
kembali ke negara kesatuan, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali
berubah menjadi Republik Indonesia dan Presiden Soekarno menjadi Presiden RI.
Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan Presiden RI diserahkan kembali kepada
Ir. Soekarno. Resminya kedudukan Presiden Soekarno adalah presiden
konstitusional, tetapi pada kenyataannya kebijakan pemerintah dilakukan setelah
berkonsultasi dengannya.
Mitos
Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat dikalangan rakyat
dibandingkan terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri. Jatuh
bangunnya kabinet yang terkenal sebagai "kabinet seumur jagung"
membuat Presiden Soekarno kurang mempercayai sistem multipartai, bahkan
menyebutnya sebagai "penyakit kepartaian". Tak jarang, ia juga ikut
turun tangan menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga berimbas pada
jatuh bangunnya kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa di
kalangan Angkatan Udara.
Presiden
Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional.
Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka, belum
mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno,
pada tahun 1955, mengambil inisiatif
untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menghasilkan Dasa Sila
Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan konflik akibat
"bom waktu" yang ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih
mementingkan imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan
munculnya perang nuklir yang mengubah peradaban, ketidakadilan badan-badan
dunia internasional dalam pemecahan konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama
Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali
Jinnah (Pakistan), U Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan Konferensi
Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non
Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara-negara Asia Afrika yang memperoleh
kemerdekaannya. Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik
berkepanjangan sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah,
yang masih dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula,
banyak penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila
ingat atau mengenal akan Indonesia.
Sukarno, Presiden Miskin
Untuk
melukiskan “kemiskinannya”, kepada Cindy Adams, Bung Karno pernah bertutur,
“Dan, adakah kepala negara lain yang lebih melarat dari aku, dan sering
meminjam-minjam (uang) dari ajudannya?”….
Selama menjabat, Bung
Karno tinggal di istana. Istana negara milik negara. Bung Karno sendiri
tercatat hanya memiliki sebuah rumah di Batu Tulis, Bogor. Rumah-rumah yang
lain, ia belikan untuk istri-istrinya.Semua harta pribadi milik Bung Karno yang ia tinggalkan di Istana, saat ia “diasingkan” oleh rezim baru, sebatas hanya didata, tetapi barang-barangnya raib entah kemana. Sungguh geram jika melihat kenyataan itu. Sebuah rezim yang diawali dengan konspirasi busuk bersama kekuatan asing, disusul oleh aksi menjarah harta mantan presidennya. Itulah pondasi Ode Baru.
Tidak berhenti sampai di situ. Anak-anak Bung Karno pun terkena getahnya. Mereka tidak pernah mewarisi harta Bung Karno yang berlebihan. Mereka juga harus bekerja untuk nenopang hidupnya. Guntur dipaksa berhenti sekolah, dan bekerja membantu ibunya. Mega, Rachma, Sukma hidup bersama suaminya. Mereka masih sering berkumpul di rumah ibunya, di Jl. Sriwijaya 26, Jakarta Selatan. Kehidupan Fatmawati sendiri jauh dari kemewahan, sekalipun ia janda presiden, mantan first lady negara ini. Sebagai janda presiden, Fatmawati tidak menerima tunjangan barang sepeser. Ia, baru menerima tunjangan resmi pada Juni 1979, sembilan tahun setelah kematian Sukarno.
Terdapat cerita nyata menggambarkan betapa sederhananya keluarga mendiang Bung Karno. Manakala hujan turun deras, air masuk karena atap yang bocor. Beberapa bagian langit-langit rumahnya bahkan tampak rapuh dan rusak. Lebih ironis, ketika tahun 1972, rumah di Jalan Sriwijaya harus ditinggalkan karena tak kuat menanggung biaya perawatan rutin. Fatma mengontrakan rumah itu. Rumah yang telah menemaninya dalam kesedihan dan kesepiannya. Uang kontrakan dipakai antara lain membiayai Guruh kuliah di Belanda. Fatma sendiri hidup bersama ibunya, Khadijah di Jalan Cilandak V, Jakarta Selatan, tak jauh dari lokasi yang sekarang terkenal dengan Rumah Sakit Fatmawati dengan jalan menuju rumah yang sempit dan berlumpur.
Kejatuhan
Situasi
politik Indonesia menjadi tidak menentu setelah enam Jendral dibunuh dalam
peristiwa yang dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September atau G30S pada 1965.
Pelaku sesungguhnya dari peristiwa tersebut masih merupakan kontroversi
walaupun PKI dituduh terlibat di dalamnya. Kemudian massa dari KAMI (Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) melakukan
aksi demonstrasi dan menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang salah satu
isinya meminta agar PKI dibubarkan. Namun, Soekarno menolak untuk membubarkan
PKI karena bertentangan dengan pandangan Nasakom (Nasionalisme, Agama,
Komunisme). Sikap Soekarno yang menolak membuabarkan PKI kemudian melemahkan
posisinya dalam politik.
Isi Aseli Tritura:
1.
BUBARKAN
PKI,
2.
RETOOL
KABINET 100 MENTERI,
3.
TURUNKAN
HARGA.
“Isi Tritura adalah (di-EYD-kan):
1.
Bubarkan
PKI beserta ormas-ormasnya,
2. Perombakan kabinet
DWIKORA,
3. Turunkan harga dan
perbaiki sandang-pangan.
Lima
bulan kemudian, dikeluarkanlah Surat Perinta Sebelas Maret yang ditandatangani
oleh Soekarno. Isi dari surat tersebut merupakan perintah kepada Letnan
Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan yang perlu guna menjaga keamanan
pemerintahan dan keselamatan pribadi presiden. Surat tersebut lalu digunakan
oleh Soeharto yang telah diangkat menjadi Panglima AD untuk membubarkan PKI dan
menyatakannya sebagai organisasi terlarang. Kemudian
MPRS pun mengeluarkan dua Ketetapannya, yaitu TAP No. IX/1966 tentang
pengukuhan Supersemar menjadi TAP MPRS dan TAP No. XV/1966 yang memberikan
jaminan kepada Soeharto sebagai pemegang Supersemar untuk setiap saat menjadi
presiden apabila presiden berhalangan.
Soekarno
kemudian membawakan pidato pertanggungjawaban mengenai sikapnya terhadap
peristiwa G30S pada Sidang Umum ke-IV MPRS. Pidato tersebut berjudul "Nawaksara" dan dibacakan pada 22
Juni 1966. MPRS kemudian meminta Soekarno untuk melengkapi pidato tersebut.
Pidato "Pelengkap Nawaksara"
pun disampaikan oleh Soekarno pada 10 Januari 1967 namun kemudian ditolak oleh
MPRS pada 16 Februari tahun yang sama.
Hingga
akhirnya pada 20 Februari 1967 Soekarno menandatangani Surat Pernyataan
Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka. Dengan ditandatanganinya surat tersebut
maka Soeharto de facto menjadi kepala
pemerintahan Indonesia. Setelah melakukan Sidang Istimewa maka MPRS pun
mencabut kekuasaan Presiden Soekarno, mencabut gelar Pemimpin Besar Revolusi
dan mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI hingga diselenggarakan pemilihan
umum berikutnya.
Sakit hingga meninggal
Kesehatan
Soekarno sudah mulai menurun sejak bulan Agustus 1965. Sebelumnya, ia telah
dinyatakan mengidap gangguan ginjal dan pernah menjalani perawatan di Wina, Austria
tahun 1961 dan 1964. Prof. Dr. K. Fellinger dari Fakultas Kedokteran
Universitas Wina menyarankan agar ginjal kiri Soekarno diangkat tetapi ia
menolaknya dan lebih memilih pengobatan tradisional. Ia masih bertahan selama 5
tahun sebelum akhirnya meninggal pada hari Minggu,
21 Juni 1970 di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta
dengan status sebagai tahanan politik. Jenazah Soekarno pun dipindahkan dari
RSPAD ke Wisma Yasso yang dimiliki oleh Ratna Sari Dewi. Sebelum dinyatakan
wafat, pemeriksaan rutin terhadap Soekarno sempat dilakukan oleh Dokter Mahar
Mardjono yang merupakan anggota tim dokter kepresidenan. Tidak lama kemudian
dikeluarkanlah komunike medis yang
ditandatangani oleh Ketua Prof. Dr. Mahar Mardjono beserta Wakil Ketua Mayor
Jenderal Dr. (TNI AD) Rubiono Kertopati.
Komunike medis
tersebut menyatakan hal sebagai berikut: - Pada hari Sabtu tanggal 20 Juni 1970 jam 20.30 keadaan kesehatan Ir. Soekarno semakin memburuk dan kesadaran berangsur-angsur menurun.
- Tanggal 21 Juni 1970 jam 03.50 pagi, Ir. Soekarno dalam keadaan tidak sadar dan kemudian pada jam 07.00 Ir. Soekarno meninggal dunia.
- Tim dokter secara terus-menerus berusaha mengatasi keadaan kritis Ir. Soekarno hingga saat meninggalnya.
Walaupun Soekarno pernah
meminta agar dirinya dimakamkan di Istana Batu Tulis, Bogor, namun pemerintahan
Presiden Soeharto memilih Kota Blitar, Jawa Timur, sebagai tempat pemakaman
Soekarno. Hal tersebut ditetapkan lewat Keppres RI No. 44 tahun 1970. Jenazah
Soekarno dibawa ke Blitar sehari setelah kematiannya dan dimakamkan keesokan
harinya bersebelahan dengan makam ibunya. Upacara pemakaman Soekarno dipimpin
oleh Panglima ABRI Jenderal M. Panggabean sebagai inspektur upacara. Pemerintah
kemudian menetapkan masa berkabung selama tujuh hari. Pemerintah
menganugerahkannya sebagai “Pahlawan Proklamasi”.
(kepustakaan-presiden.pnri.go.id).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar