Pernah ga kalian lihat wayang?? mungkin sobat smua adalah pengidola salah satu tokoh pewayangan. Apa malah gak tahu tentang pewayangan ( upz..hehehehe).
Dalam pakem cerita pewayangan selain atau bahkan setelah "Goro-Goro" munculah tokoh2 wayang _yah bisa dianggap mreka tuh sebagai penetralisir suasana keributan (ah parau kali nih kata2.. :) ) siapa sih para tokoh itu...
Punokawan_inilah tokohnya. nah disini ane mw sdikit kasih crita salah satu tokohnya.. okay Sob.. Cekebrooott....
Dalam pakem cerita pewayangan selain atau bahkan setelah "Goro-Goro" munculah tokoh2 wayang _yah bisa dianggap mreka tuh sebagai penetralisir suasana keributan (ah parau kali nih kata2.. :) ) siapa sih para tokoh itu...
Punokawan_inilah tokohnya. nah disini ane mw sdikit kasih crita salah satu tokohnya.. okay Sob.. Cekebrooott....
Punokawan dan Petuahnya__
Kyai Lurah
Semar Badranaya adalah nama tokoh panakawan paling utama dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh ini
dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria
dalam pementasan kisah-kisah Mahabharata
dan Ramayana.
Tentu saja nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli kedua wiracarita
tersebut yang berbahasa Sansekerta, karena tokoh ini merupakan asli ciptaan pujangga Jawa.
Sejarah
Semar
Menurut
sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama
kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala. Selain dalam
bentuk kakawin,
kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam
Candi Sukuh yang berangka tahun 1439.
Semar
dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa
dari keluarga Pandawa.
Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga
sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.
Pada zaman
berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa,
pewayangan pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang
dipentaskan masih seputar Mahabharata yang saat itu sudah melekat
kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal
sebagai ahli budaya, misalnya Sunan
Kalijaga. Dalam pementasan wayang, tokoh Semar masih tetap
dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak daripada dalam
kisah Sudamala.
Dalam
perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga
Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat
jelata biasa, melaikan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru,
raja para dewa.
Asal-Usul dan Kelahiran
Terdapat
beberapa versi tentang kelahiran atau asal-usul Semar. Namun semuanya menyebut
tokoh ini sebagai penjelmaan dewa.
Dalam naskah Serat
Kanda dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa memiliki
dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang
Wenang. Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta
kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang
kemudian diwariskan kepada putranya yeng bernama Batara Guru.
Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara
Guru, dengan nama Semar.
Dalam naskah Paramayoga
dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang
Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting
bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud
telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing
diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit
putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang
berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar
Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri,
atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama
Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau
disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan
berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki
Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para
dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.
Dalam naskah Purwakanda
dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh,
Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar
bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga
kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun
perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk
ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung
menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba,
yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat
pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada
dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.
Dalam naskah Purwacarita
dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang
Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang
Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga
bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing
menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang
berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari
kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih
karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun
mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut
dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan
matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung
tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati bebarpa hari seluruh bagian
gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan.
Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murka
mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum
menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja
kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia.
Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.
Silsilah dan Keluarga
Dalam
pewayangan dikisahkan, Batara Ismaya sewaktu masih di kahyangan sempat dijodohkan
dengan sepupunya yang bernama Dewi Senggani. Dari perkawinan itu lahir sepuluh
orang anak, yaitu:
·
Batara Wungkuham
·
Batara Surya
·
Batara Candra
·
Batara Tamburu
·
Batara Siwah
·
Batara Kuwera
·
Batara Yamadipati
·
Batara Kamajaya
·
Batara Mahyanti
·
Batari Darmanastiti
Semar sebagai
penjelmaan Ismaya mengabdi untuk pertama kali kepada Resi Manumanasa, leluhur
para Pandawa.
Pada suatu hari Semar diserang dua ekor harimau berwarna merah dan putih.
Manumanasa memanah keduanya sehingga berubah ke wujud asli, yaitu sepasang
bidadari bernama Kanistri dan Kaniraras. Berkat pertolongan Manumanasa, kedua
bidadari tersebut telah terbebas dari kutukan yang mereka jalani. Kanistri
kemudian menjadi istri Semar, dan biasa dipanggil dengan sebutan Kanastren.
Sementara itu, Kaniraras menjadi istri Manumanasa, dan namanya diganti menjadi
Retnawati, karena kakak perempuan Manumanasa juga bernama Kaniraras.
Pasangan Panakawan / Punokawan
Dalam pewayangan Jawa Tengah,
Semar selalu disertai oleh anak-anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Namun
sesungguhnya ketiganya bukan anak kandung Semar. Gareng adalah putra seorang
pendeta yang mengalami kutukan dan terbebas oleh Semar. Petruk adalah putra
seorang raja bangsa Gandharwa. Sementara Bagong tercipta dari bayangan Semar
berkat sabda sakti Resi Manumanasa.
Dalam
pewayangan Sunda, urutan anak-anak Semar adalah Cepot, Dawala, dan Gareng.
Sementara itu, dalam pewayangan Jawa Timuran, Semar hanya didampingi satu orang
anak saja, bernama Bagong, yang juga memiliki seorang anak bernama Besut.
Bentuk Fisik
Semar memiliki
bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia merupakan simbol penggambaran
jagad raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi, tempat tinggal umat
manusia dan makhluk lainnya.
Semar selalu
tersenyum, tapi bermata sembab. Penggambaran ini sebagai simbol suka dan duka.
Wajahnya tua tapi potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil,
sebagai simbol tua dan muda. Ia berkelamin laki-laki, tapi memiliki payudara
seperti perempuan, sebagai simbol pria dan wanita. Ia penjelmaan dewa tetapi
hidup sebagai rakyat jelata, sebagai simbol atasan dan bawahan.
Keistimewaan Semar
Keris pengantin
dengan pegangan Semar
Semar merupakan
tokoh pewayangan ciptaan pujangga lokal. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi,
namun keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata.
Jika dalam perang Baratayuda menurut versi aslinya, penasihat pihak Pandawa
hanya Kresna seorang, maka dalam pewayangan, jumlahnya ditambah menjadi dua,
dan yang satunya adalah Semar.
Semar dalam
karya sastra hanya ditampilkan sebagai pengasuh keturunan Resi Manumanasa, terutama
para Pandawa
yang merupakan tokoh utama kisah Mahabharata.
Namun dalam pementasan wayang yang bertemakan Ramayana,
para dalang juga biasa menampilkan Semar sebagai pengasuh keluarga Sri Rama
ataupun Sugriwa.
Seolah-olah Semar selalu muncul dalam setiap pementasan wayang, tidak peduli
apapun judul yang sedang dikisahkan.
Dalam
pewayangan, Semar bertindak sebagai pengasuh golongan kesatria, sedangkan Togog
sebagai pengasuh kaum raksasa. Dapat dipastikan anak asuh Semar selalu dapat
mengalahkan anak asuh Togog. Hal ini sesungguhnya merupakan simbol belaka.
Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi,
apabila para pemerintah - yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar -
mendengarkan suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka negara yang
dipimpinnya pasti menjadi nagara yang unggul dan sentosa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar