KH.
Abdul Wahid Hasyim adalah pahlawan nasional, salah seorang anggota BPUPKI dan
perumus Pancasila dan merupakan Menteri Agama tiga kabinet (Kabinet Hatta,
Kabinet Natsir, dan Kabinet Sukiman).
Mantan Ketua Tanfidiyyah
PBNU (1948) dan Pemimpin dan pengasuh kedua Pesantren Tebuireng (1947 – 1950)
ini, merupakan reformis dunia pendidikan pesantren dan pendidikan Islam
Indonesia. Ia dikenal juga sebagai pendiri IAIN (sekarang UIN).
Kelahiran
KH. Abdul Wahid Hasyim adalah putra dari pasangan KH. M.
Hasyim Asy’ari-Nyai Nafiqah binti Kiai Ilyas (Madiun) yang di lahirkan pada
Jum’at legi, 5 Rabi’ul Awal 1333 H./1 Juni 1914 M, ketika di rumahnya
sedang ramai dengan pengajian. Ayahandanya semula
memberinya nama Muhammad Asy’ari, diambil dari nama kakeknya. Namun, namanya
kemudian diganti menjadi Abdul Wahid, diambil dari nama datuknya.
Wahid Hasyim adalah anak kelima dan anak laki-laki pertama dari 10 bersaudara dari KH.
Hasyim Asy’ari. Silsilah dari jalur ayah ini bersambung hingga Joko Tingkir, tokoh yang kemudian lebih
dikenal dengan Sultan Sutawijaya
yang berasal dari kerajaan Demak. Sedangkan dari pihak ibu, silsilah itu betemu
pada satu titik, yaitu Sultan Brawijaya
V, yang menjadi salah satu raja Kerajaan Mataram. Sultan Brawijaya V ini
juga dikenal dengan sebutan Lembu Peteng.
Kesepuluh putra KH. Hasyim Asy’ari itu adalah Hannah, Khairiyah, Aisyah, Izzah,
Abdul Wahid, A. Khaliq, Abdul Karim, Ubaidillah, Masrurah, dan Muhammad Yusuf.
Sementara itu, dengan Nyai Masrurah KH. Hasyim Asy’ari dikaruniai empat putera,
yakni Abdul Kadir, Fatimah, Khodijah dan Ya’kub.
Menuntut
Ilmu
Abdul Wahid mempunyai otak sangat cerdas. Pada usia kanak-kanak ia sudah pandai
membaca al-Qur’an, dan bahkan sudah khatam al-Qur’an ketika masih berusia tujuh
tahun. Selain mendapat bimbingan langsung dari ayahnya, Abdul Wahid juga
belajar di bangku Madrasah Salafiyah di Pesantren Tebuireng. Pada usia 12
tahun, setamat dari Madrasah, ia sudah membantu ayahnya mengajar adik-adik dan
anak-anak seusianya.
Selama
bersekolah, ia giat mempelajari ilmu-ilmu kesustraan dan budaya Arab secara
outodidak. Dia juga mempunyai hobi membaca yang sangat kuat. Dalam sehari, dia
membaca minimal lima jam. Dia juga hafal banyak syair Arab yang kemudian
disusun menjadi sebuah buku.
Ketika berusia 13 tahun, ia belajar di Pondok Siwalan,
Panji, Sidoarjo. Di sana ia mondok mulai awal Ramadhan hingga tanggal 25
Ramadhan (hanya 25 hari). Setelah itu pindah ke Pesantren Lirboyo, Kediri,
sebuah pesantren yang didirikan oleh KH. Abdul Karim, teman dan sekaligus murid
ayahnya. Antara umur 13 dan 15 tahun, pemuda Wahid menjadi Santri Kelana,
pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Tahun 1929 dia kembali ke
pesantren Tebuireng.
Ketika kembali ke Tebuireng, umurnya baru mencapai 15
tahun dan baru mengenal huruf latin. Dengan mengenal huruf latin, semangat
belajarnya semakin bertambah. Ia belajar ilmu bumi, bahasa asing, matematika,
dll. Dia juga berlangganan koran dan majalah, baik yang berbahasa Indonesia
maupun Arab.
Pemuda Abdul Wahid mulai belajar Bahasa Belanda ketika
berlangganan majalah tiga bahasa, ”Sumber Pengetahuan” Bandung. Tetapi dia
hanya mengambil dua bahasa saja, yaitu Bahasa Arab dan Belanda. Setelah itu dia
mulai belajar Bahasa Inggris.
Pada tahun 1932, ketika umurnya baru 18 tahun, Abdul Wahid
pergi ke tanah suci Mekkah bersama sepupunya, Muhammad Ilyas. Selain
menjalankan ibadah haji, mereka berdua juga memperdalam ilmu pengetahuan
seperti nahwu, shorof, fiqh, tafsir, dan hadis. Abdul Wahid menetap di tanah
suci selama 2 tahun.
Memimpin Pondok Pesantren Tebuireng
Sepulang dari tanah suci, KH. Abdul Wahid (biasa dipanggil
KH. Wahid Hasyim) bukan hanya membantu ayahnya mengajar di pesantren, tapi juga
terjun ke tengah-tengah masyarakat. Ketika usianya menginjak 20-an tahun, Kiai
Wahid mulai membantu ayahnya menyusun kurikulum pesantren, menulis surat
balasan dari para ulama atas nama ayahnya dalam Bahasa Arab, mewakili sang ayah
dalam berbagai pertemuan dengan para tokoh. Bahkan ketika ayahnya sakit, ia menggantikan
membaca kitab Shahih Bukhari, yakni pengajian tahunan yang diikuti oleh para
ulama dari berbagai penjuru tanah Jawa dan Madura.
Dengan bekal keilmuan yang cukup, pengalaman yang luas
serta wawasan global yang dimilikinya, Kiai Wahid mulai melakukan
terobosan-terobosan besar di Tebuireng. Awalnya dia mengusulkan untuk merubah
sistem klasikal dengan sistem tutorial, serta memasukkan materi pelajaran umum
ke pesantren. Usul ini ditolak oleh ayahnya, karena khawatir akan menimbulkan
masalah antar sesama pimpinan pesantren. Namun pada tahun 1935, usulan Kiai
Wahid tentang pendirian Madrasah Nidzamiyah, dimana 70% kurikulumnya berisi
materi pelajaran umum, diterima oleh sang ayah.
Madrasah Nidzamiyah bertempat di serambi masjid Tebuireng.
Siswa pertamanya berjumlah 29 orang, termasuk adiknya sendiri, Abdul Karim Hasyim. Dalam bidang
bahasa, selain materi pelajaran Bahasa Arab, di Madrasah Nidzamiyah juga diberi
pelajaran Bahasa Inggris dan Belanda.
Pada tahun 1936,
Kiai Wahid mendirikan Ikatan Pelajar Islam untuk melengkapi khazanah keilmuan
santri, yang kemudian diikuti dengan pendirian taman bacaan (perpustakaan) yang
menyediakan lebih dari seribu judul buku. Perpustakaan Tebuireng juga
berlangganan majalah seperti Panji Islam, Dewan Islam, Berita Nahdlatul Ulama,
Adil, Nurul Iman, Penyebar Semangat, Panji Pustaka, Pujangga Baru, dan lain
sebagainya. Langkah ini merupakan terobosan besar yang—saat itu—belum pernah
dilakukan pesantren manapun di Indonesia.
Pernikahan KH. Abdul Wahid
Hasyim
Pada hari Jumat, 10
Syawal 1356 H./1936 M., Kiai Wahid menikah dengan Munawaroh (lebih dikenal
dengan nama Sholichah), putri KH. Bisyri Sansuri (Denanyar Jombang). Ada
peristiwa menarik dalam prosesi pernikahan ini. Mempelai lelaki hanya berangkat
seorang diri ke Denanyar. Kiai Wahid datang hanya memakai baju lengan pendek
dan bersarung. Tidak ada yang mengiringinya. Bukan tidak ada yang mau
mengantar, akan tetapi Kiai Wahid sendiri yang meninggalkan para pengiringnya
di belakang.
Dari pernikahan itu, pasangan Wahid-Sholichah dikaruniai
enam orang putra-putri, yaitu Abdurrahman,
Aisyah, Salahuddin, Umar, Lily Khodijah, dan Muhammad Hasyim.
Masuk NU
Di tengah-tengah kesibukannya mengelola Tebuireng, Kiai
Wahid aktif menjadi pengurus NU (1938). Karier di NU dimulai dari bawah.
Mula-mula menjadi Sekertaris NU Ranting Cukir, kemudian tahun 1938 terpilih sebagai Ketua Cabang NU
Kabupaten Jombang. Lalu tahun 1940
masuk kepengurusan PBNU bagian ma’arif (pendidikan). Di tubuh Ma’arif NU, Kiai
Wahid mengembangkan dan melakukan reorganisasi terhadap madrasah-madrasah NU di
seluruh Indonesia. Kiai Wahid juga giat mengembangkan tradisi tulis-menulis di
kalangan NU, dengan menerbitkan Majalah Suluh Nahdlatul Ulama. Beliau juga
aktif menulis di Suara NU dan Berita NU. Tahun 1946 Kiai Wahid terpilih sebagai
Ketua Tanfidiyyah PBNU menggantikan Kiai Achmad Shiddiq yang meninggal dunia.
Pada tahun 1947,
ketika sang ayah meningal dunia, Kiai Wahid terpilih secara aklamasi sebagai
pengasuh Tebuireng. Pilihan ini berdasarkan kesepakatan musyawarah keluarga
Bani Hasyim dan Ulama NU Kabupaten Jombang. Terpilihnya Kiai Wahid sebenarnya
sekadar ”formalisasi”, karena kenyataannya beliau sudah lama ikut membantu sang
ayah mengelola Tebuireng.
Mendirikan Masyumi
November 1947,
Wahid Hasyim bersama M. Natsir menjadi pelopor pelaksanaan Kongres Umat Islam
Indonesia yang diselenggarakan di Jogjakarta. Dalam kongres itu diputuskan
pendirian Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebagai satu-satunya
partai politik Islam di Indonesia. Ketua umumnya adalah ayahnya sendiri, Kiai
Hasyim Asy’ari. Namun Kiai Hasyim melimpahkan semua tugasnya kepada Wahid
Hasyim.
Dia dalam Masyumi tergabung tokoh-tokoh Islam nasional,
seperti KH. Wahab Hasbullah, KH. Bagus Hadikusumo, KH. Abdul Halim, KH. Ahmad
Sanusi, KH. Zainul Arifin, Mohammad Roem, dr. Sukiman, H. Agus Salim, Prawoto
Mangkusasmito, Anwar Cokroaminoto, Mohammad Natsir, dan lain-lain.
Sejak awal tahun 1950-an, NU keluar dari Masyumi dan
mendirikan partai sendiri. Kiai Wahid terpilih sebagai Ketua Umum Partai NU.
Keputusan ini diambil dalam Kongres ke-19 NU di Palembang (26-April-1 Mei
1952). Secara pribadi, Kiai Wahid tidak setuju NU keluar dari Masyumi. Akan
tetapi karena sudah menjadi keputusan bersama, maka Kiai Wahid menghormatinya. Hubungan
Kiai Wahid dengan tokoh-tokoh Masyumi tetap terjalin baik.
Pahlawan Nasional
Pada tahun 1939,
NU masuk menjadi anggota Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI), sebuah federasi
partai dan ormas Islam di Indonesia. Setelah masuknya NU, dilakukan reorganisasi
dan saat itulah Kiai Wahid terpilih menjadi ketua MIAI, dalam Kongres tanggal
14-15 September 1940 di Surabaya.
Di bawah kepemimpinan Kiai Wahid, MIAI melakukan tuntutan
kepada pemerintah Kolonial Belanda untuk mencabut status Guru Ordonantie tahun
1925 yang sangat membatasi aktivitas guru-guru agama. Bersama GAPI (Gabungan
Partai Politik Indonesia) dan PVPN (Asosiasi Pegawai Pemerintah), MIAI juga
membentuk Kongres Rakyat Indonesia sebagai komite Nsional yang menuntut
Indonesia berparlemen.
Menjelang pecahnya Perang Dunia ke-II, pemerintah Belanda
mewajibkan donor darah serta berencana membentuk milisi sipil Indonesia sebagai
persiapan menghadapi Perang Dunia. Sebagai ketua MIAI, Wahid Hasyim menolak
keputusan itu.
Ketika pemerintah Jepang membentuk Chuuo Sangi In, semacam
DPR ala Jepang, Kiai Wahid dipercaya menjadi anggotanya bersama tokoh-tokoh
pergerakan nasional lainnya, seperti Ir. Soekarno, Dr. Mohammad Hatta, Mr.
Sartono, M. Yamin, Ki Hajat Dewantara, Iskandar Dinata, Dr. Soepomo, dan lain-lain.
Melalui jabatan ini, Kiai Wahid berhasil meyakinkan Jepang untuk membentuk
sebuah Badan Jawatan Agama guna menghimpun para ulama.
Pada tahun 1942,
Pemerintah Jepang menangkap Hadratusy Sayeikh Kiai Hasyim Asy'ari dan
menahannya di Surabaya. Wahid Hasyim berupaya membebaskannya dengan melakukan
lobi-lobi politik. Hasilnya, pada bulan Agustus 1944, Kiai Hasyim Asy'ari
dibebaskan. Sebagai kompensasinya, Pemerintah Jepang menawarinya menjadi ketua
Shumubucho, Kepala Jawatan Agama Pusat. Kiai Hasyim menerima tawaran itu,
tetapi karena alasan usia dan tidak ingin meninggalkan Tebuireng, maka tugasnya
dilimpahkan kepada Kiai Wahid.
Bersama para pemimpin pergerakan nasional (seperti
Soekarno dan Hatta), Wahid Hasyim memanfaatkan jabatannya untuk persiapan kemerdekaan
RI. Dia membentuk Kementerian Agama, lalu membujuk Jepang untuk memberikan
latihan militer khusus kepada para santri, serta mendirikan barisan pertahanan
rakyat secara mandiri. Inilah cikal-bakal terbentuknya laskar Hizbullah dan
Sabilillah yang, bersama PETA, menjadi embrio lahirnya Tentara Nasional
Indonesia (TNI).
29 April 1945,
pemerintah Jepang membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyooisakai atau
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan Wahid
Hasyim menjadi salah satu anggotanya. Dia merupakan tokoh termuda dari sembilan
tokoh nasional yang menandatangani Piagam Jakarta, sebuah piagam yang
melahirkan proklamasi dan konstitusi negara. Dia berhasil menjembatani
perdebatan sengit antara kubu nasionalis yang menginginkan bentuk Negara
Kesatuan, dan kubu Islam yang menginginkan bentuk negara berdasarkan syariat
Islam. Saat itu ia juga menjadi penasihat Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Di dalam kabinet pertama yang dibentuk Presiden Sukarno
(September 1945), Kiai Wahid ditunjuk menjadi Menteri Negara. Demikian juga
dalam Kabinet Sjahrir tahun 1946. Ketika KNIP dibentuk, Wahid Hasyim menjadi
salah seorang anggotanya mewakili Masyumi dan meningkat menjadi anggota BPKNIP
tahun 1946.
Setelah terjadi penyerahan kedaulatan RI dan berdirinya
RIS, dalam Kabinet Hatta tahun 1950
dia diangkat menjadi Menteri Agama. Jabatan Menteri Agama terus dipercayakan
kepadanya selama tiga kali kabinet, yakni Kabinet Hatta, Natsir, dan Kabinet
Sukiman.
Selama menjabat sebagai Menteri Agama RI, Kiai Wahid
mengeluarkan tiga keputusan yang sangat mepengaruhi sistem pendidikan Indonesia
di masa kini, yaitu :
1.
Mengeluarkan Peraturan
Pemerintah tertanggal 20 Januari 1950, yang mewajibkan pendidikan dan
pengajaran agama di lingkungan sekolah umum, baik negeri maupun swasta.
2.
Mendirikan Sekolah Guru dan
Hakim Agama di Malang, Banda-Aceh, Bandung, Bukittinggi, dan Yogyakarta.
3.
Mendirikan Pendidikan Guru
Agama Negeri (PGAN) di Tanjungpinang, Banda-Aceh, Padang, Jakarta, Banjarmasin,
Tanjungkarang, Bandung, Pamekasan, dan Salatiga.
Jasa lainnya ialah
pendirian Sekolah Tinggi Islam di Jakarta (tahun
1944), yang pengasuhannya ditangani oleh KH. Kahar Muzakkir. Lalu pada tahun 1950 memutuskan pendirian
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kini menjadi IAIN/UIN/STAIN,
serta mendirikan wadah Panitia Haji Indonesia (PHI). Kiai Wahid juga memberikan
ide kepada Presiden Soekarno untuk mendirikan masjid Istiqlal sebagai masjid
negara.
Musibah di Cimindi
Hari
itu, Sabtu 18 April 1953, Kiai Wahid
bermaksud pergi ke Sumedang untuk menghadiri rapat NU. Kiai Wahid ditemani tiga
orang, yakni sopirnya dari harian Pemandangan, rekannya Argo Sutjipto, dan
putera sulungnya Abdurrahman Ad-Dakhil (Gus Dur). Kiai Wahid duduk di jok
belakang bersama Argo Sutjipto. Daerah di sekitar Cimahi waktu itu diguyur
hujan lebat sehingga jalan menjadi licin. Lalu lintas cukup ramai.
Sekitar
pukul 13.00, ketika memasuki Cimindi, sebuah daerah antara Cimahi-Bandung,
mobil yang ditumpangi Kiai Wahid selip dan sopirnya tidak bisa menguasai
kendaraan. Di belakangnya banyak iringan-iringan mobil. Sedangkan dari arah
depan, sebuah truk yang melaju kencang terpaksa berhenti begitu melihat ada
mobil zig-zag. Karena mobil Chevrolet itu melaju cukup kencang, bagian
belakangnya membentur badan truk dengan kerasnya. Ketika terjadi benturan, Kiai
Wahid dan Argo Sutjipto terlempar ke bawah truk yang sudah berhenti itu.
Keduanya luka parah. Kiai Wahid terluka bagian kening, mata, pipi, dan bagian
lehernya. Sedangkan sang sopir dan Gus Dur tidak cedera sedikit pun. Mobilnya
hanya rusak bagian belakang dan masih bisa berjalan seperti semula.Kiai Hasyim
dan Argo Sutjipto kemudian dibawa ke Rumah Sakit Boromeus Bandung. Sejak
mengalami kecelakaan, keduanya tidak sadarkan diri.
Keesokan
harinya, Ahad, 19 April 1953 pukul
10.30, KH. Abdul Wahid Hasyim dipanggil ke hadirat Allah Swt. dalam usia 39
tahun. Beberapa jam kemudian, tepatnya pukul 18.00 Argo Sutjipto menyusul
menghadap Sang Khalik. Inna liLlahi wa Inna ilayhi Raji’un.
Jenazah Kiai Wahid kemudian
dibawa ke Jakarta, lalu diterbangkan ke Surabaya, dan selanjutnya dibawa ke
Jombang untuk disemayamkan di pemakaman keluarga Pesantren Tebuireng. Atas
jasa-jasanya beliau juga dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah.