Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker
(umumnya dikenal dengan nama Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi;
lahir di Pasuruan, Hindia-Belanda, 8 Oktober 1879 – meninggal di Bandung,
Jawa Barat, 28 Agustus 1950 pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang
kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia.
Kehidupan pribadi
Ernest
adalah anak ketiga (dari empat bersaudara) pasangan Auguste Henri Edouard Douwes Dekker, seorang pialang bursa efek dan
agen Bank dan Louisa Margaretha Neumann,
seorang Indo dari ayah Jerman dan ibu Jawa. Dengan pekerjaannya itu, Auguste
termasuk orang yang berpenghasilan tinggi. Ernest, biasa dipanggil
"Nes" oleh orang-orang dekatnya atau "DD" oleh rekan-rekan
seperjuangannya, masih terhitung saudara dari pengarang buku Max Havelaar,
yaitu Eduard Douwes Dekker (Multatuli),
yang merupakan adik kakeknya. Olaf
Douwes Dekker, cucu dari Guido,
saudaranya, menjadi penyair di Breda, Belanda.
DD menikah
dengan Clara Charlotte Deije
(1885-1968), anak dokter campuran Jerman-Belanda pada tahun 1903, dan mendapat
lima anak, namun dua anak lelaki meninggal sewaktu bayi. Yang bertahan hidup
semuanya perempuan. Keduanya bercerai pada tahun 1919.
Pada tahun
1927, Kemudian DD menikah lagi dengan Johanna Petronella Mossel (1905-1978), Indo
keturunan Yahudi. Johanna adalah guru yang banyak membantu kegiatan
kesekretariatan Ksatrian Instituut (KI), sekolah yang didirikan DD. Dari
perkawinan ini mereka tidak dikaruniai anak.
Pada tahun
1941 pasangan ini harus berpisah Di
saat DD dibuang ke Suriname, kemudian Johanna menikah dengan Djafar Kartodiredjo, yang juga
merupakan seorang Indo (sebelumnya dikenal sebagai Arthur Kolmus), tanpa
perceraian resmi terlebih dahulu. Tidak jelas apakah DD mengetahui pernikahan
ini karena ia selama dalam pengasingan tetap berkirim surat namun tidak
dibalas.
Sewaktu DD
"kabur" dari Suriname dan menetap sebentar di Belanda (1946), ia
menjadi dekat dengan perawat yang mengasuhnya, Nelly Alberta Geertzema née
Kruymel, seorang Indo yang berstatus janda beranak satu. Nelly kemudian
menemani DD yang menggunakan nama samaran pulang ke Indonesia agar tidak
ditangkap intelijen Belanda. Mengetahui bahwa Johanna telah menikah dengan
Djafar, DD tidak lama kemudian menikahi Nelly, pada tahun 1947. DD kemudian menggunakan nama Danoedirdja Setiabuddhi dan Nelly menggunakan nama Haroemi Wanasita, nama-nama yang
diusulkan oleh Sukarno. Sepeninggal DD, Haroemi menikah dengan Wayne E. Evans pada tahun 1964 dan kini
tinggal di AS.
Riwayat hidup
Masa muda
Pendidikan dasar ditempuh Nes di Pasuruan.
Sekolah lanjutan pertama-tama diteruskan ke HBS di Surabaya, lalu pindah ke Gymnasium
Willem III, suatu sekolah elit di Batavia. Selepas lulus sekolah ia
bekerja di perkebunan kopi "Soember Doeren" di Malang, Jawa
Timur. Di sana ia menyaksikan perlakuan semena-mena yang dialami pekerja kebun,
dan sering kali membela mereka. Tindakannya itu membuat ia kurang disukai
rekan-rekan kerja, namun disukai pegawai-pegawai bawahannya. Akibat konflik
dengan manajernya, ia dipindah ke perkebunan tebu "Padjarakan" di Kraksaan
sebagai laboran. Sekali lagi, dia terlibat konflik dengan manajemen karena
urusan pembagian irigasi untuk tebu perkebunan dan padi petani. Akibatnya, ia
dipecat.
Tahun 1899, Menganggur dan kematian mendadak ibunya,
membuat Nes memutuskan berangkat ke Afrika Selatan untuk ikut dalam Perang Boer
Kedua melawan Inggris, bahkan menjadi warga negara Republik Transvaal. Beberapa
bulan kemudian kedua saudara laki-lakinya, Julius dan Guido, menyusul. Nes
tertangkap lalu dipenjara di suatu kamp di Ceylon.
Sebagai wartawan yang kritis
Pada tahun 1902, DD dipulangkan ke Hindia Belanda dan bekerja
sebagai agen pengiriman KPM, perusahaan pengiriman milik negara. Penghasilannya
yang lumayan membuatnya berani menyunting Clara
Charlotte Deije, putri seorang dokter asal Jerman yang tinggal di Hindia
Belanda, pada tahun 1903.
Kemampuannya menulis laporan pengalaman
peperangannya di surat kabar terkemuka membuat ia ditawari menjadi reporter
koran Semarang terkemuka, De
Locomotief. Di sinilah ia mulai merintis kemampuannya dalam
berorganisasi. Tugas-tugas jurnalistiknya, seperti ke perkebunan di Lebak dan kasus
kelaparan di Indramayu, membuatnya mulai kritis terhadap kebijakan
kolonial.
Tahun 1907, Ia menjadi staf redaksi Bataviaasch
Nieuwsblad, tulisan-tulisannya
menjadi semakin pro kaum Indo dan pribumi. Dua seri artikel yang tajam
dibuatnya pada tahun 1908. Seri
pertama artikel dimuat Februari 1908 di surat kabar Belanda Nieuwe Arnhemsche
Courant setelah versi bahasa Jermannya dimuat di koran Jerman Das Freie
Wort, "Het bankroet der ethische principes in Nederlandsch
Oost-Indie" ("Kebangkrutan prinsip etis di Hindia Belanda")
kemudian pindah di Bataviaasche Nieuwsblad. Sekitar tujuh bulan kemudian
(akhir Agustus) seri tulisan panas berikutnya muncul di surat kabar yang sama,
"Hoe kan Holland het spoedigst zijn
koloniën verliezen?" ("Bagaimana caranya Belanda dapat segera
kehilangan koloni-koloninya?", versi Jermannya berjudul "Hollands
kolonialer Untergang"). Kembali kebijakan politik etis dikritiknya.
Tulisan-tulisan ini membuatnya mulai masuk dalam radar intelijen penguasa.
Rumah DD, pada saat yang sama, yang terletak
di dekat Stovia menjadi tempat berkumpul para perintis gerakan kebangkitan
nasional Indonesia, seperti Sutomo dan Cipto Mangunkusumo, untuk belajar dan
berdiskusi. Budi Utomo (BO),
organisasi yang diklaim sebagai organisasi nasional pertama, lahir atas
bantuannya. Ia bahkan menghadiri kongres pertama BO di Yogyakarta.Aspek pendidikan tak luput dari perhatian DD. Pada tahun 1910 (8 Maret) ia turut membidani lahirnya Indische Universiteit Vereeniging (IUV), suatu badan penggalang dana untuk memungkinkan dibangunnya lembaga pendidikan tinggi (universitas) di Hindia Belanda.
Dalam pembuangan di Eropa
Universitas Zurich, tempat
Ernest Douwes Dekker menempuh pendidikan tingginya.
Masa di Eropa dimanfaatkan oleh Nes untuk
mengambil program doktor di Universitas Zürich, Swiss, dalam bidang ekonomi. Di
sini ia tinggal bersama-sama keluarganya. Gelar doktor diperoleh secara agak
kontroversial dan dengan nilai "serendah-rendahnya", menurut istilah
salah satu pengujinya. Karena di Swis ia terlibat konspirasi dengan kaum
revolusioner India, ia ditangkap di Hong Kong dan diadili dan ditahan di
Singapura (1918). Setelah dua tahun dipenjara, ia pulang ke Hindia Belanda
1920. Sekembalinya ia ke Batavia setelah dipenjara DD aktif kembali dalam dunia
jurnalistik dan organisasi.
Peristiwa Polanharjo
Pada tahun 1919, DD terlibat dalam peristiwa protes dan
kerusuhan petani/buruh tani di perkebunan tembakau Polanharjo, Klaten. Ia
terkena kasus ini karena dianggap mengompori para petani dalam pertemuan mereka
dengan orang-orang Insulinde cabang
Surakarta, yang ia hadiri pula. Pengadilan dilakukan pada tahun 1920 di
Semarang. Hasilnya, ia dibebaskan; namun kasus baru menyusul dari Batavia: ia
dituduh menulis hasutan di surat kabar yang dipimpinnya. Kali ini ia harus
melindungi seseorang (sebagai redaktur De Beweging) yang menulis suatu
komentar yang di dalamnya tertulis "Membebaskan negeri ini adalah
keharusan! Turunkan penguasa asing!". Yang membuatnya kecewa adalah
ternyata alasan penyelidikan bukanlah semata tulisan itu, melainkan
"mentalitas" sang penulis (dan dituduhkan ke DD). Setelah melalui
pembelaan yang panjang, DD divonis bebas oleh pengadilan.
Pengasingan di Suriname
Pada tahun 1941, DD ditangkap dan dibuang ke Suriname. Di sana
ia ditempatkan di suatu kamp jauh di pedalaman Sungai Suriname yang bernama Jodensavanne ("Padang Yahudi"). Tempat itu pada
abad ke-17 s/d ke-19 pernah menjadi tempat pemukiman orang Yahudi yang kemudian
ditinggalkan karena kemudian banyak pendatang yang membuat keonaran.
Kondisi
kehidupan di kamp sangat memprihatinkan. Sampai-sampai DD, yang waktu itu sudah
memasuki usia 60-an, sempat kehilangan kemampuan melihat. Ketika kabar
berakhirnya perang berakhir, para interniran (buangan) di sana tidak segera
dibebaskan. Baru menjelang pertengahan tahun 1946 sejumlah orang buangan dikirim ke Belanda, termasuk DD. Di
Belanda ia bertemu dengan Nelly
Albertina Gertzema nee Kruymel, seorang perawat. Nelly kemudian menemaninya
kembali ke Indonesia. Kepulangan ke Indonesia juga melalui petualangan yang
mendebarkan karena DD harus mengganti nama dan menghindari petugas intelijen di
Pelabuhan Tanjung Priok. Akhirnya mereka berhasil tiba di Yogyakarta, ibukota
Republik Indonesia pada waktu itu pada tanggal 2 Januari 1947.
Perjuangan di masa Revolusi Kemerdekaan dan akhir hayat
Tak lama setelah kembali ia segera
terlibat dalam posisi-posisi penting di sisi Republik Indonesia. Pertama-tama
ia menjabat sebagai menteri negara tanpa portofolio dalam Kabinet Sjahrir III,
yang hanya bekerja dalam waktu hampir 9 bulan. Selanjutnya berturut-turut ia
menjadi anggota delegasi negosiasi dengan Belanda, konsultan dalam komite
bidang keuangan dan ekonomi di delegasi itu, anggota DPA, pengajar di Akademi
Ilmu Politik, dan terakhir sebagai kepala seksi penulisan sejarah
(historiografi) di bawah Kementerian Penerangan. Di mata beberapa pejabat
Belanda ia dianggap "komunis" meskipun ini sama sekali tidak benar.
Tak lama kemudian DD dibebaskan
karena kondisi fisiknya yang payah dan setelah berjanji tak akan melibatkan
diri dalam politik. Ia dibawa ke Bandung atas permintaannya. Harumi kemudian
menyusulnya ke Bandung. Setelah renovasi, mereka lalu menempati rumah lama
(dijulukinya "Djiwa Djuwita") di Lembangweg.
Di Bandung ia terlibat kembali dengan
aktivitas di Ksatrian Instituut. Kegiatannya yang lain adalah mengumpulkan
material untuk penulisan autobiografinya (terbit 1950: 70 jaar konsekwent)
dan merevisi buku sejarah tulisannya.
Ernest Douwes
Dekker wafat dini hari tanggal 28 Agustus 1950 (tertulis di batu nisannya; 29
Agustus 1950 versi van der Veur, 2006)
dan dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar