Dr. Cipto Mangunkusumo
Lahir: Ambarawa, 1886
Pendiri Indiche Partij
Wafat: Jakarta, 8 Maret 1943.
Makam: TMP watuceper Ambarawa)
Cipto
Mangunkusumo dilahirkan pada 4 Maret 1886 di desa Pecagakan Jepara. Ia adalah
putera tertua dari Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dalam struktur
masyarakat Jawa. Karir Mangunkusumo diawali sebagai guru bahasa Melayu di
sebuah sekolah dasar di Ambarawa, kemudian menjadi kepala sekolah pada sebuah
sekolah dasar di Semarang dan selanjutnya menjadi pembantu administrasi pada
Dewan Kota di Semarang. Sementara, sang ibu adalah keturunan dari tuan tanah di
Mayong, Jepara.
Meskipun
keluarganya tidak termasuk golongan priyayi birokratis yang tinggi kedudukan
sosialnya, Mangunkusumo berhasil menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang yang
tinggi. Cipto beserta adik-adiknya yaitu Gunawan, Budiardjo, dan Syamsul
Ma’arif bersekolah di Stovia, sementara Darmawan, adiknya bahkan berhasil
memperoleh beasiswa dari pemeintah Belanda untuk mempelajari ilmu kimia
industri di Universitas Delf, Belanda. Si bungsu, Sujitno terdaftar sebagai
mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta.
Ketika menempuh pendidikan di Stovia, Cipto mulai memperlihatkan sikap yang berbeda dari teman-temannya. Teman-teman dan guru-gurunya menilai Cipto sebagai pribadi yang jujur, berpikiran tajam dan rajin. “Een begaald leerling”, atau murid yang berbakat adalah julukan yang diberikan oleh gurunya kepada Cipto. Di Stovia Cipto juga mengalami perpecahan antara dirinya dan lingkungan sekolahnya. Berbeda dengan teman-temannya yang suka pesta dan bermain bola sodok, Cipto lebih suka menghadiri ceramah-ceramah, baca buku dan bermain catur. Penampilannya pada acara khusus, tergolong eksentrik, ia senantiasa memakai surjan dengan bahan lurik dan merokok kemenyan. Ketidakpuasan terhadap lingkungan sekelilingnya, senantiasan menjadi topik pidatonya. Baginya, Stovia adalah tempat untuk menemukan dirinya, dalam hal kebebasan berpikir, lepas dari tradisi keluarga yang kuat, dan berkenalan dengan lingkungan baru yang diskriminatif.
Beberapa Peraturan-peraturan di Stovia menimbulkan ketidak puasan pada dirnya, seperti semua mahasiswa Jawa dan Sumatra yang bukan Kristen diharuskan memakai pakaian tadisional bila sedang berada di sekolah. Bagi Cipto, peraturan berpakaian di Stovia merupakan perwujudan politik kolonial yang arogan dan melestarikan feodalisme. Pakaian Barat hanya boleh dipakai dalam hirarki administrasi kolonial, yaitu oleh pribumi yang berpangkat bupati. Masyarakat pribumi dari wedana ke bawah dan yang tidak bekerja pada pemerintahan, dilarang memakai pakaian Barat. Implikasi dari kebiasaan ini, rakyat cenderung untuk tidak menghargai dan menghormati masyarakat pribumi yang memakai pakaian tradisional.
Keadaan
ini senantiasa digambarkannya melalui De Locomotief, pers kolonial yang sangat
progresif pada waktu itu, di samping Bataviaasch
Nieuwsblad. Sejak tahun 1907 Cipto sudah menulis di harian De Locomotief. Tulisannya berisi
kritikan, dan menentang kondisi keadaan masyarakat yang dianggapnya tidak
sehat. Cipto sering mengkritik hubungan feodal maupun kolonial yang dianggapnya
sebagai sumber penderitaan rakyat. Dalam sistem feodal terjadi
kepincangan-kepincangan dalam masyarakat. Rakyat umumnya terbatas ruang gerak
dan aktivitasnya, sebab banyak kesempatan yang tertutup bagi mereka.
Keturunanlah yang menentukan nasib seseorang, bukan keahlian atau kesanggupan.
Seorang anak “biasa” akan tetap tinggal terbelakang dari anak bupati atau kaum
ningrat lainnya.
Kondisi kolonial lainnya yang ditentang oleh Cipto adalah diskriminasi ras. Sebagai contoh, orang Eropa menerima gaji yang lebih tinggi dari orang pribumi untuk suatu pekerjaan yang sama. Diskriminasi membawa perbedaan dalam berbagai bidang misalnya, peradilan, perbedaan pajak, kewajiban kerja rodi dan kerja desa. Dalam bidang pemerintahan, politik, ekonomi dan sosial, bangsa Indonesia menghadapi garis batas warna. Tidak semua jabatan negeri terbuka bagi bangsa Indonesia. Demikian juga dalam perdagangan, bangsa Indonesia tidak mendapat kesempatan berdagang secara besar-besaran, tidak sembarang anak Indonesia dapat bersekolah di sekolah Eropa, tidak ada orang Indonesia yang berani masuk kamar bola dan sociteit. Semua diukur berdasarkan warna kulit.
Tulisan-tulisannya
di harian De Locomotief, mengakibatkan Cipto sering mendapat teguran dan
peringatan dari pemerintah. Untuk mempertahankan kebebasan dalam berpendapat
Cipto kemudian keluar dari dinas pemerintah dengan konsekuensi mengembalikan
sejumlah uang ikatan dinasnya yang tidak sedikit.
Selain dalam bentuk
tulisan, Cipto juga sering melancarkan protes dengan bertingkah melawan arus.
Misalnya larangan memasuki sociteit bagi bangsa Indonesia tidak diindahkannya.
Dengan pakaian khas yakni kain batik dan jas lurik, ia masuk ke sebuah sociteit
yang penuh dengan orang-orang Eropa. Cipto kemudian duduk dengan kaki
dijulurkan, hal itu mengundang kegaduhan di sociteit.
Ketika seorang opas (penjaga) mencoba mengusir Cipto untuk keluar dari gedung,
dengan lantangnya Cipto memaki-maki sang opas serta orang-orang berada di
dekatnya dengan mempergunakan bahasa Belanda. Kewibawaan Cipto dan penggunaan
bahasa Belandanya yang fasih membuat orang-orang Eropa terperangah.
Budi
Utomo pada 20 Mei 1908
terbentuk, sebagai bentuk kesadaran pribumi akan dirinya. Pada kongres pertama
Budi Utomo di Yogyakarta, jatidiri politik Cipto semakin nampak. Walaupun
kongres diadakan untuk memajukan perkembangan yang serasi bagi orang Jawa,
namun pada kenyataannya terjadi keretakan antara kaum konservatif dan kaum
progesif yang diwakili oleh golongan muda. Keretakan ini sangat ironis
mengawali suatu perpecahan ideologi yang terbuka bagi orang Jawa.
Dalam kongres yang pertama terjadi
perpecahan antara Cipto dan Radjiman. Cipto menginginkan Budi Utomo sebagai
organisasi politik yang harus bergerak secara demokratis dan terbuka bagi semua
rakyat Indonesia. Organisasi ini harus menjadi pimpinan bagi rakyat dan jangan
mencari hubungan dengan atasan, bupati dan pegawai tinggi lainnya.
Sedangkan
Radjiman ingin menjadikan Budi Utomo sebagai suatu gerakan kebudayaan yang
bersifat Jawa.
Cipto tidak menolak
kebudayaan Jawa, tetapi yang ia tolak adalah kebudayaan keraton yang feodalis.
Cipto mengemukakan bahwa sebelum persoalan kebudayaan dapat dipecahan, terlebih
dahulu diselesaikan masalah politik. Pernyataan-pernyataan Cipto bagi jamannya
dianggap radikal. Gagasan-gagasan Cipto menunjukkan rasionalitasnya yang
tinggi, serta analisis yang tajam dengan jangkauan masa depan, belum mendapat
tanggapan luas. Sumber keterbelakangan rakyat adalah penjajahan dan feodalisme.
Setelah mengundurkan diri dari Budi Utomo, Cipto membuka praktek dokter di Solo. Meskipun demikian, Cipto tidak meninggalkan dunia politik sama sekali. Di sela-sela kesibukkannya melayani pasiennya, Cipto mendirikan Raden Ajeng Kartini Klub yang bertujuan memperbaiki nasib rakyat. Perhatiannya pada politik semakin menjadi-jadi setelah dia bertemu dengan Douwes Dekker yang tengah berpropaganda untuk mendirikan Indische Partij. Cipto melihat Douwes Dekker sebagai kawan seperjuangan. Bagi Cipto, Indische Partij merupakan upaya mulia mewakili kepentngan-kepentingan semua penduduk Hindia Belanda, tidak memandang suku, golongan, dan agama.
Setelah mengundurkan diri dari Budi Utomo, Cipto membuka praktek dokter di Solo. Meskipun demikian, Cipto tidak meninggalkan dunia politik sama sekali. Di sela-sela kesibukkannya melayani pasiennya, Cipto mendirikan Raden Ajeng Kartini Klub yang bertujuan memperbaiki nasib rakyat. Perhatiannya pada politik semakin menjadi-jadi setelah dia bertemu dengan Douwes Dekker yang tengah berpropaganda untuk mendirikan Indische Partij. Cipto melihat Douwes Dekker sebagai kawan seperjuangan. Bagi Cipto, Indische Partij merupakan upaya mulia mewakili kepentngan-kepentingan semua penduduk Hindia Belanda, tidak memandang suku, golongan, dan agama.
Pada
tahun 1912
Cipto pindah dari Solo ke Bandung, dengan dalih agar dekat dengan Douwes
Dekker. Ia kemudian menjadi anggota redaksi penerbitan harian de Expres dan majalah het Tijdschrijft. Perkenalan antara
Cipto dan Douwes Dekker telah dijalin ketika Douwes Dekker bekerja pada Bataviaasch Nieuwsblad. Douwes Dekker
sering berhubungan dengan murid-murid Stovia.
Pada
Nopember 1913,
Belanda memperingati 100 tahun kemerdekaannya dari Perancis. Peringatan
tersebut dirayakan secara besar-besaran, juga di Hindia Belanda. Perayaan
tersebut menurut Cipto sebagai suatu penghinaan terhadap rakyat bumi putera
yang sedang dijajah. Cipto dan Suwardi
Suryaningrat kemudian mendirikan suatu Komite Bumi Putra. Dan Cipto
dipercaya untuk menjadi ketuanya. Komite tersebut merencanakan akan
mengumpulkan uang untuk mengirim telegram kepada Ratu Wihelmina, yang isinya meminta agar pasal pembatasan kegiatan politik dan membentuk parlemen dicabut.
Komite Bumi Putra juga membuat selebaran yang bertujuan menyadarkan rakyat
bahwa upacara perayaan kemerdekaan Belanda dengan mengerahkan uang dan tenaga
rakyat merupakan suatu penghinaan bagi bumi putera.
Aksi Komite Bumi
Putera mencapai puncaknya pada 19 Juli
1913, ketika harian De Express menerbitkan suatu artikel Suwardi
Suryaningrat yang berjudul “Als Ik
Nederlands Was” (Andaikan Saya Seorang Belanda).
Pada
hari berikutnya dalam harian De Express Cipto menulis artikel yang mendukung
Suwardi untuk memboikot perayaan kemerdekaan Belanda. Tulisan Cipto dan Suwardi
sangat memukul Pemerintah Hindia Belanda, pada 30 Juli 1913 Cipto dan Suwardi dipenjarakan, pada 18 Agustus 1913 keluar surat keputusan
untuk membuang Cipto bersama Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker ke Belanda
karena kegiatan propaganda anti Belanda dalam Komite Bumi Putera.
Selama masa
pembuangan di Belanda, bersama Suwardi dan Douwes Dekker, Cipto tetap
melancarkan aksi politiknya dengan melakukan propaganda politik berdasarkan
ideologi Indische Partij. Mereka menerbitkan majalah De Indier yang berupaya menyadarkan masyarakat Belanda dan
Indonesia yang berada di Belanda akan situasi di tanah jajahan. Majalah De
Indier menerbitkan artikel yang menyerang kebijaksanaan Pemerintah Hindia
Belanda.
Kehadiran tiga pemimpin tersebut di Belanda ternyata telah membawa pengaruh yang cukup berarti terhadap organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda. Indische Vereeniging, pada mulanya adalah perkumpulan sosial mahasiswa Indonesia, sebagai tempat saling memberi informasi tentang tanah airnya. Akan tetapi, kedatangan Cipto, Suwardi dan Douwes Dekker berdampak pada konsep-konsep baru dalam gerakan organisasi ini. Konsep “Hindia bebas dari Belanda dan pembentukan sebuah negara Hindia yang diperintah rakyatnya sendiri mulai dicanangkan oleh Indische Vereeniging. Pengaruh mereka semakin terasa dengan diterbitkannya jurnal Indische Vereeniging yaitu Hindia Poetra pada 1916.
Kehadiran tiga pemimpin tersebut di Belanda ternyata telah membawa pengaruh yang cukup berarti terhadap organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda. Indische Vereeniging, pada mulanya adalah perkumpulan sosial mahasiswa Indonesia, sebagai tempat saling memberi informasi tentang tanah airnya. Akan tetapi, kedatangan Cipto, Suwardi dan Douwes Dekker berdampak pada konsep-konsep baru dalam gerakan organisasi ini. Konsep “Hindia bebas dari Belanda dan pembentukan sebuah negara Hindia yang diperintah rakyatnya sendiri mulai dicanangkan oleh Indische Vereeniging. Pengaruh mereka semakin terasa dengan diterbitkannya jurnal Indische Vereeniging yaitu Hindia Poetra pada 1916.
Oleh karena alasan
kesehatan, pada tahun 1914 Cipto diperbolehkan pulang kembali ke Jawa dan sejak
saat itu dia bergabung dengan Insulinde,
suatu perkumpulan yang menggantikan Indische Partij. Sejak itu, Cipto menjadi
anggota pengurus pusat Insulinde untuk beberapa waktu dan melancarkan
propaganda untuk Insulinde, terutama di daerah pesisir utara pulau Jawa. Selain
itu, propaganda Cipto untuk kepentingan Insulinde dijalankan pula melalui
majalah Indsulinde yaitu Goentoer
Bergerak, kemudian surat kabar berbahasa Belanda De Beweging, surat kabar Madjapahit, dan surat kabar Pahlawan.
Akibat propaganda Cipto, jumlah anggota Insulinde pada tahun 1915 yang semula
berjumlah 1.009 meningkat menjadi 6.000 orang pada tahun 1917. Jumlah anggota
Insulinde mencapai puncaknya pada Oktober 1919 yang mencapai 40.000 orang.
Insulinde di bawah pengaruh kuat Cipto menjadi partai yang radikal di Hindia
Belanda. Pada 9 Juni 1919 Insulinde mengubah nama menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP).
Pada
tahun 1918
Pemerintah Hindia Belanda membentuk Volksraad (Dewan Rakyat). Pengangkatan
anggota Volksraad dilakukan dengan dua cara. Pertama, calon-calon yang dipilih
melalui dewan perwakilan kota, kabupaten dan propinsi. Sedangkan cara yang
kedua melalui pengangkatan yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Gubernur jenderal Van Limburg Stirum
mengangkat beberapa tokoh radikal dengan maksud agar Volksraad dapat menampung
berbagai aliran sehingga sifat demokratisnya dapat ditonjolkan. Salah seorang
tokoh radikal yang diangkat oleh Limburg Stirum adalah Cipto.
Pada
25 Nopember 1919
Cipto berpidato di Volksraad, yang isinya mengemukakan persoalan tentang
persekongkolan Sunan dan residen dalam menipu rakyat. Cipto menyatakan bahwa
pinjaman 12 gulden dari sunan ternyata harus dibayar rakyat dengan bekerja
sedemikian lama di perkebunan yang apabila dikonversi dalam uang ternyata
menjadi 28 gulden.
Melihat kenyataan
itu, Pemerintah Hindia Belanda menganggap Cipto sebagai orang yang sangat
berbahaya, sehingga Dewan Hindia (Raad van Nederlandsch Indie) pada 15 Oktober 1920 memberi masukan kepada
Gubernur Jenderal untuk mengusir Cipto ke daerah yang tidak berbahasa Jawa.
Akan tetapi, pada kenyataannya pembuangan Cipto ke daerah Jawa, Madura, Aceh,
Palembang, Jambi, dan Kalimantan Timur masih tetap membahayakan pemerintah.
Oleh sebab itu, Dewan Hindia berdasarkan surat kepada Gubernur Jenderal
mengusulkan pengusiran Cipto ke Kepulauan Timor. Pada tahun itu juga Cipto
dibuang dari daerah yang berbahasa Jawa tetapi masih di pulau Jawa, yaitu ke
Bandung dan dilarang keluar kota Bandung. Selama tinggal di Bandung, Cipto
kembali membuka praktek dokter. Selama tiga tahun Cipto mengabdikan ilmu
kedokterannya di Bandung, dengan sepedanya ia masuk keluar kampung untuk mengobati
pasien. Di Bandung, Cipto dapat bertemu dengan kaum nasionalis yang lebih muda,
seperti Sukarno yang pada tahun 1923
membentuk Algemeene Studie Club.
Pada tahun 1927 Algemeene Studie Club diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Meskipun Cipto tidak menjadi
anggota resmi dalam Algemeene Studie Club dan PNI, Cipto tetap diakui sebagai
penyumbang pemikiran bagi generasi muda. Misalnya Sukarno dalam suatu wawancara
pers pada 1959, ketika ditanya siapa di antara tokoh-tokoh pemimpin Indonesia
yang paling banyak memberikan pengaruh kepada pemikiran politiknya, tanpa
ragu-ragu Sukarno menyebut Cipto Mangunkusumo.
Akhir
tahun 1926 dan tahun 1927
di beberapa tempat di Indonesia terjadi pemberontakan komunis. Pemberontakan
itu menemui ke-gagalan dan ribuan orang ditangkap atau dibuang karena terlibat
di dalamnya. Dalam hal ini Cipto juga ditangkap dan didakwa turut serta dalam
perlawanan terhadap pemerintah. Hal itu disebabkan suatu peristiwa, ketika pada
bulan Juli 1927 Cipto kedatangan tamu seorang militer pribumi yang berpangkat
kopral dan seorang kawannya. Kepada Cipto tamu tersebut mengatakan rencananya
untuk melakukan sabotase dengan meledakkan persediaan-persediaan mesiu, tetapi
dia bermaksud mengunjungi keluarganya di Jatinegara, Jakarta, terlebih dahulu.
Untuk itu dia memerlukan uang untuk biaya perjalanan. Cipto menasehatkan agar
orang itu tidak melakukan tindakan sabotase, dengan alasan kemanusiaan Cipto
kemudian memberikan uangnya sebesar 10 gulden kepada tamunya. Sebagai
hukumannya Cipto kemudian dibuang ke Banda pada tahun 1928.
Dalam
pembuangan, penyakit asmanya kambuh. Beberapa kawan Cipto kemudian mengusulkan
kepada pemerintah agar Cipto dibebaskan. Ketika Cipto diminta untuk
menandatangani suatu perjanjian bahwa dia dapat pulang ke Jawa dengan
melepaskan hak politiknya, Cipto secara tegas mengatakan bahwa lebih baik mati
di Banda daripada melepaskan hak politiknya. Cipto kemudian dialihkan ke
Makasar, dan pada tahun 1940 Cipto dipindahkan ke Sukabumi. Kekerasan hati
Cipto untuk berpolitik dibawa sampai meninggal
pada 8 Maret 1943.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar