Lahir: Bandung, 4 Desember
1918
(pengikut & penerus cita-cita Kartini)
Wafat: Bandung, 11 September
1947
Makam: Karanganyar, BDG.
Kehidupan
Dewi Sartika adalah Pahlawan pendidikan kaum wanita
Indonesia, pahlawan nasional, sekaligus tokoh panutan di kalangan masyarakat
Sunda. Pemerintah memberinya gelar pahlawan nasional sejak tahun 1966. Dewi
Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda. Putri pasangan Raden Somanegara dan Raden Ayu Permas. Ayahnya seorang patih
di Bandung. Kedua Orang tuanya
adalah pejuang kemerdekaan yang pernah diasingkan di Ternate (maluku). Meski
melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke
sekolah Belanda. Setelah kedua orang tuanya di asingkan, Dewi Sartika kemudian
di asuh oleh Patih Aria (pamannya_dari Ibu) yang tinggal di Cicalengka. Semasa hidupnya, Dewi Sartika amat
gigih memperjuangkan nasib dan harkat kaum perempuan. Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan
mengenai kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat
didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda.
Waktu itu Dewi
Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh
kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang
ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di waktu itu
belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti
itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.
Ketika sudah mulai remaja, Dewi Sartika kembali ke ibunya di Bandung. Jiwanya yang semakin dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh pamannya, Bupati Martanagara, pamannya sendiri, yang memang memiliki keinginan yang sama. Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat yang mengekang kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami kesulitan dan khawatir. Namu karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan.
Ketika sudah mulai remaja, Dewi Sartika kembali ke ibunya di Bandung. Jiwanya yang semakin dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh pamannya, Bupati Martanagara, pamannya sendiri, yang memang memiliki keinginan yang sama. Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat yang mengekang kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami kesulitan dan khawatir. Namu karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan.
Sejak kecil, Dewi
Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan.
Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik
di sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu
di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting
dijadikannya alat bantu belajar.
Sepak
Terjang
Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum
perempuan. Di rumahnya, Dewi Sartika
mengajar anggota keluarga
dan kaum perempuan disekitarnya mengenai berbagai keterampilan seperti membaca,
menulis, memasak, dan menjahit.
16 Januari 1904, Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A.
Martenagara beliau mendirikan
Sakola Istri (Sekolah
Perempuan) di Kota Bandung.
Sekolah ini menjadi lembaga pendidikan bagi perempuan yang pertama kali di
dirikan di Hindia Belanda. Tenaga
pengajarnya tiga orang; Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa
dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang,
menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung.
Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga
kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi
Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati
Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, membuktikan kepada bangsa kita
bahwa perempuan memiliki kemampuan yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun
1910, menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa
lebih mememnuhi syarat kelengkapan sekolah formal.
Tahun 1913 Sakola Istri kemudian diganti namanya
menjadi Sakola Kautamaan Istri.
Tahun 1913 mendirikan organisasi Kautamaan Istri
di tasikmalaya yang menaungi sekolah-sekolah yang didirikan Dewi Sartika.
Tahun 1929 Sakola Kautamaan Istri Berganti nama
lagi menjadi Sekolah Raden Dewi dan oleh pemerintah Hindia Belanda dibangunkan
gedung baru yang besar dan lengkap. Atas
jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah
Hindia-Belanda.
Dewi
Sartika menikah tahun 1906, dengan Raden
Kanduruan Agah Suriawinata
yang juga berprofesi sebagai pendidik sehingga keduanya memiliki kesamaan visi
dalam meajukan pendidikan di lingkungan masyarakatnya.
Setelah
terjadi Agresi militer Belanda tahun 1947, Dewi Sartika ikut mengungsi
bersama-sama para pejuang yang terus melakukan perlawanan untuk mempertahankan
kemerdekaan.
Meninggal
Dewi
Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu
upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam.
Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di
Jalan Karang Anyar, Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar