Lambang Negara Garuda Pancasila |
Lambang negara Indonesia adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Lambang negara Indonesia berbentuk burung Garuda
yang kepalanya menoleh ke sebelah kanan (dari sudut pandang Garuda),
perisai berbentuk menyerupai jantung yang digantung dengan rantai pada
leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu” ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda.
Burung Garuda ditetapkan sebagai lambang Negara RI sejak diresmikan
penggunaannya sebagai lambang negara pertama kali pada Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat pada tanggal 11 Februari 1950, dan dituangkan dalam Peraturan
Pemerintah no 66 tahun 1951. Penggagasnya/perancang adalah Sultan Abdurrahman
Hamid Alkadrie II atau dikenal dengan Sultan Hamid II dari Pontianak dan kemudian disempurnakan oleh Presiden Soekarno, yang saat itu
Sultan Hamid II sebagai Menteri Negara Republik Indonesia Serikat (RIS).
Sejarah Garuda
Garuda muncul dalam berbagai kisah, terutama di Jawa dan Bali. Garuda dalam banyak kisah Garuda melambangkan kebajikan, pengetahuan,
kekuatan, keberanian, kesetiaan, dan disiplin. Sebagai kendaraan Wishnu,
Garuda juga memiliki sifat Wishnu sebagai pemelihara dan penjaga
tatanan alam semesta. Dalam tradisi Bali, Garuda dimuliakan sebagai
"Tuan segala makhluk yang dapat terbang" dan "Raja agung para burung".
Di Bali ia biasanya digambarkan sebagai makhluk yang memiliki kepala,
paruh, sayap, dan cakar elang,
tetapi memiliki tubuh dan lengan manusia. Biasanya digambarkan dalam
ukiran yang halus dan rumit dengan warna cerah keemasan, digambarkan
dalam posisi sebagai kendaraan Wishnu, atau dalam adegan pertempuran
melawan Naga.
Posisi mulia Garuda dalam tradisi Indonesia sejak zaman kuna telah
menjadikan Garuda sebagai simbol nasional Indonesia, sebagai perwujudan
ideologi Pancasila. Selain Indonesia, Thailand juga menggunakan Garuda sebagai lambang negara.
Di Indonesia Garuda yang merupakan kendaraan (wahana) Dewa Wishnu tampil di berbagai candi kuno di Indonesia, seperti Prambanan, Mendut, Sojiwan, Penataran, Belahan, Sukuh dan Cetho dalam bentuk relief atau arca.
Di candi
Siwa Prambanan terdapat relief episode Ramayana yang menggambarkan keponakan Garuda (Jatayu) yang juga bangsa dewa burung, saat mencoba menyelamatkan Sinta dari cengkeraman Rahwana. Ketika Rahwana mencoba menculik Sinta (Istri Rama), Jatayu mencoba menyelamatkannya dan terjadi pertempuran yang sengit antara Jatayu dengan Rahwana. Pada perkelahian itu, Jatayu akhirnya dikalahkan. Tertebas sayapnya dan kemudian mati.
Arca anumerta Airlangga
yang digambarkan sebagai Wishnu tengah mengendarai Garuda dari Candi
Belahan mungkin adalah arca Garuda Jawa Kuna paling terkenal, kini arca
ini disimpan di Museum Trowulan.
Rancangan awal Sult.Hamid II |
Setelah Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949, disusul pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949, dirasakan perlunya Indonesia (saat itu Republik Indonesia Serikat) memiliki lambang negara.
10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia
Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio
Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Poerbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
Merujuk keterangan Bung Hatta
dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang
Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua
rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M
Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah
rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan
sinar-sinar matahari yang menampakkan pengaruh Jepang.
Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan
Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta,
terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Mereka
bertiga sepakat mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula
adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan
"Bhineka Tunggal Ika".
Tanggal 8 Februari 1950, rancangan lambang negara
yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden
Soekarno. Rancangan lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi
untuk dipertimbangkan kembali, karena adanya keberatan terhadap gambar
burung Garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan
dianggap terlalu bersifat mitologis.
Garuda Pancasila yang diresmikan penggunaannya pada 11 Februari 1950, masih tanpa jambul dan posisi cakar di belakang pita. |
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara
yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga
tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila.
Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet
RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam
bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI
menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya
diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS pada tanggal 11
Februari 1950.
Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih
"gundul" dan tidak berjambul seperti bentuk sekarang ini. Presiden
Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara
itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari
1950.
Soekarno terus memperbaiki bentuk Garuda Pancasila. Pada tanggal 20
Maret 1950, Soekarno memerintahkan pelukis istana, Dullah, melukis
kembali rancangan tersebut; setelah sebelumnya diperbaiki antara lain
penambahan "jambul" pada kepala Garuda Pancasila, serta mengubah posisi
cakar kaki yang mencengkram pita dari semula di belakang pita menjadi di
depan pita, atas masukan Presiden Soekarno. Dipercaya bahwa alasan
Soekarno menambahkan jambul karena kepala Garuda gundul dianggap terlalu
mirip dengan Bald Eagle, Lambang Amerika Serikat.
Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan
bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran
dan tata warna gambar lambang negara. Rancangan Garuda Pancasila
terakhir ini dibuatkan patung besar dari bahan perunggu berlapis emas
yang disimpan dalam Ruang Kemerdekaan Monumen Nasional sebagai acuan, ditetapkan sebagai lambang negara Republik Indonesia, dan desainnya tidak berubah hingga kini.
Desain-desain awal yang digunakan sebagai simbol RIS
Sultan Abdurrahman Hamid Alkadrie II |
Perancang
Sultan Hamid II, yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung sultan Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Alkadrie.
Lahir di Pontianak tanggal 12 Juli 1913.
Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia-Arab, walau pernah diurus ibu
asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang
kemudian melahirkan dua anak–keduanya sekarang di Negeri Belanda.
Pendidikan
Syarif menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta,
dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat,
kemudian KMA di Breda, Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat
letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda. Ketika Jepang mengalahkan
Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan
ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat
menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29
Oktober 1945 dia diangkat menjadi sultan Pontianak menggantikan ayahnya
dengan gelar Sultan Hamid II.
Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan
penting sebagai wakil daerah istimewa Kalbar dan selalu turut dalam
perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di
Indonesia dan Belanda. Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan
Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni
sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang
Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.
Pada 21-22 Desember 1949, beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri
Negara Zonder Porto Folio, Westerling yang telah melakukan makar di
Tanah Air menawarkan “over commando” kepadanya, namun dia menolak tegas.
Karena tahu Westerling adalah gembong APRA. Selanjutnya dia berangkat
ke Negeri Belanda, dan pada 2 Januari 1950, sepulangnya dari Negeri
Kincir itu dia merasa kecewa atas pengiriman pasukan TNI ke
Kalbar–karena tidak mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL. Pada saat
yang hampir bersamaan, terjadi peristiwa yang menggegerkan; Westerling
menyerbu Bandung pada 23 Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju
dengan tindakan anak buahnya itu, Westerling sempat marah. Sewaktu
Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara
Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan
Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang
negara. Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung
(1974) sewaktu penyerahan file dokumen proses perancangan lambang
negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II
sedang merancang lambang negara.
Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara
mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana
sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam
lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan
nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder
Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin
sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, MA Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng
Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan
rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk
melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono
melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik,
yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya
yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya
M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan
pengaruh Jepang. Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara
perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri
Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan
itu.
Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram
Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan
menambahkan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Tanggal 8 Februari 1950,
rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan
Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno.
Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai
Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar
burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan
dianggap bersifat mitologis. Sultan Hamid II kembali mengajukan
rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan
aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda
Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian
menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta
sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar
Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan,
rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan
pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS.
Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih
“gundul” dan “tidak berjambul” seperti bentuk sekarang ini. Inilah karya
kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan
kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri
Negara RIS. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama
kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes
Jakarta pada 15 Februari 1950. Penyempurnaan kembali lambang negara itu
terus diupayakan.
Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi
“berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari
semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki,
atas masukan Presiden Soekarno. Tanggal 20 Maret 1940, bentuk final
gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden
Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk
melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri
Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat
ini.
Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan
bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran
dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya
diserahkan kepada H Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974.
Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto
gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal
Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah Pontianak.
Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar